English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Manfaat Mengucapkan kalimat LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH


Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).

Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).

FIQIH HADITS (4) : MEMPERBANYAK UCAPAN LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH (TIDAK ADA DAYA DAN UPAYA KECUALI DENGAN PERTOLONGAN ALLAH)

Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan kalimat lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?

Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan shalat,

"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". [al-Fâtihah/1:5].

Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan dalam akhir shalat kita:

اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.

"Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu" [1].

Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majlis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.

Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.

FIQIH HADITS (5) : BERANI MENGATAKAN KEBENARAN MESKIPUN PAHIT

Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan tauhid, perbuatan bid’ah adalah Sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.

Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan kebenaran, perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para ulama tentang keharamannya.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa.

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim". [2]

Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara yang baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi, demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.

Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (ulil amri). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.

"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya"[3].

PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.

Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1522), an-Nasâ`i (III/53), Ahmad (V/245), dan al-Hakim (I/173, III/273) beliau menshahîhkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[2]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Majah (no. 4012), ath-Thabrani dalam al-Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2473), dan selainnya. Dari Sahabat Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 490).
[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil- Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu 'anhu.

Marâji’:
1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.
2. al-Adabul-Mufrad.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.
5. As-Sunanul-Kubra.
6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.
8. Hilyatul Auliyâ`.
9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.
10. Lisânul-‘Arab.
11. Mawâridizh Zhamm`ân.
12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.
13. Musnad ‘Abd bin Humaid.
14. Musnad al-Humaidi.
15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.
16. Musnad Imam Ahmad.
17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd.
18. Shahîh al-Bukhari.
19. Shahîh Ibni Hibban.
20. Shahîh Ibni Khuzaimah.
21. Shahîh Muslim.
22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
23. Sunan Abu Dawud.
24. Sunan an-Nasâ`i.
25. Sunan at-Tirmidzi.
26. Sunan Ibni Majah.
27. Syarah Shahîh Muslim.
28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh
Read More

Janganlah Putus Asa


“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Ssungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (az-Zumar: 53)

Itulah rahmat yang luas yang meliputi seluruh kemaksiatan dalam bentuk apapun. Itulah seruan supaya kembali. Seruan kepada para pendurhaka yang berlebihan, terlunta-lunta, dan tersesat di padang kesesatan.

Ayat itu menyeru mereka kepada harapan, cita-cita, dan kepercayaan akan ampunan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Dia mengetahui kelemahan dan kepapaan mereka. Dia mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang menguasai diri mereka. Dia mengetahui setanlah yang mengintip mereka di setiap kesempatan dan menghadang di setiap jalan, lalu menyeretnya dengan berkuda dan berlari. Sungguh setan itu bekerja serius dalam praktik busuknya.

Allah mengetahui bahwa sosok makhluk manusia ini merupakan bangunan yang rentan. Manusia itu miskin dan cepat terjatuh jika tali yang mengikat tangannya dilepaskan. Aneka fungsi, minat, dan syahwat yang terhampar di dunia cepat sekali memalingkan manusia dari keseimbangan. Sehingga, dia terantuk di sana-sini, lalu terjerumus ke dalam kemaksiatan. Manusia itu lemah dalam memelihara keseimbangan yang baik.

Allah mengetahui setiap ihwal setiap makhluk. Maka, Dia mengulurkan bantuan, melapangkan rahmat baginya dan Dia tidak menyiksa karena kemaksiatannya sebelum Dia menyediakan segala sarana untuknya guna memperbaiki kekeliruannya dan menegakkan langkahnya di atas jalur. Pada saat manusia berputus asa dan patah arang, Dia mendengar seruan kasih sayang dan sapaan kelembutan.
“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat ALLAH. Ssungguhnya ALLAH mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (az-Zumar: 53)

Tidak ada antara dirinya yang berdosa dan sapaan kasih sayang yang lembut dan naungannya yang toleran dan mendayu… kecuali tobat semata dan kembali ke pintu yang terbuka tanpa penjaga yang menghalanginya. Pintu yang tidak memerlukan permintaan izin bagi siapa saja yang ingin memasukinya.

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada-mu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan, ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (az-Zumar: 54-55)

Bertobat, menjalankan Islam, dan kembali ke kehangatan ketaatan dan naungan kepasrahan. Ini adalah satu-satunya cara, tanpa memerlukan sarana orang suci, petunjuk, panghalang, perantara dan pemberi syafaat.

Itulah perhitungan langsung antara hamba dan Rabb. Itulah komunikasi langsung antara makhluq dan Khaliq. Barangsiapa yang sesat dan ingin kembali, maka kembalilah. Barangsiapa yang terlunta-lunta dan ingin bertobat, maka bertobatlah. Barangsiapa yang durhaka dan ingin berserah diri, maka berserah dirilah dan lakukanlah.. lakukanlah, masuklah karena pintu selalu terbuka. Kehangatan, naungan, seruan, dan kenyamanan berada di balik pintu yang tanpa penjaga dan gratis.

Marilah, sebelum habis waktunya. Marilah “sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat di tolong (lagi).” Di sana tiada penolong. Marilah, karena waktu tiada yang menjamin. Persoalan itu dapat saja diputuskan dan pintu-pintu dikunci kapan saja, baik pada malam maupun siang hari. Marilah, “dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhammu.” Ini Al-Qur’an berada di hadapannmu “sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.”

Marilah, sebelum kamu menyesali kesempatan yang hilang, menyia-nyiakan Allah, dan mengolok-ngolok janji Allah,
“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).’” (az-Zumar: 56)

Atau, kamu mengatakan bahwa Allah telah memutuskan diriku sebagai orang sesat. Apabila Dia memutuskan aku berada dalam petunjuk, niscaya aku beroleh petunjuk dan bertakwa,
“Atau supaya jangan ada yang berkata, ‘Kalau Allah member petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.’” (az-Zumar: 57)

Itulah dalih yang tidak berdasar, karena kesempatan terbuka lebar sekarang dan sarana petunjuk senantiasa tersaji serta pintu tobat senantiasa terbuka
“Atau, supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, ‘Kalau aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.’” (az-Zumar: 58)

Itulah harapan yang tidak tercapai. Jika kehidupan ini berakhir, habislah putaran dan tidak pernah kembali. Kini kalian berada di negeri amal. Itulah satu-satunya kesempatan. Jika ia habis kesempatan pun tidak akan kembali dan kalian akan ditanya dengan nada mengungkit dan menghinakan,
“(Bukan demikian), sebenarnya telah datang ketetapan-ketetapan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan kamu termasuk orang-orang yang kafir.’” (az-Zumar: 59)
Read More

Pengikut

Tentang Blog

Free Automatic Backlink Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net